Monday, August 28, 2006

I CRIED FOR MY BROTHER SIX TIMES

interesting story (dari milis IKS)...tak pernah gagal mbuat g merinding dan menitikkan air mata..bahkan pertama kali membacanya, g ampe sesengukan... lama bgt...temen2 g ampe pada bingung...
enjoy reading...

I CRIED FOR MY BROTHER SIX TIMES

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga
tahun lebih muda
dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima
puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di
depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya. "Siapa yang mencuri
uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu
itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram
tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...
Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku
menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis
lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan
lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke
SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya
diterima untuk masuk ke
sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah
berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik...hasil
yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela
nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya
sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada
wajahnya. "Mengapa kau
mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan
jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun
itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa
ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan
ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke
universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan
rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan
air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,
adikku berusia 17
tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu
di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat
bagaimana
penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka
tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
kata-kataku, "Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun
juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya
melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu." Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku
ke dalam pelukanku
dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20.
Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah
pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu
tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!" Tetapi
katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang
pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka
pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya
dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya. "Tidak, tidak
sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku
bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke
wajahku. Tahun itu,
adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun, mereka
tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak
setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di
sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai
bekerja sebagai pekerja
reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku
pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak
akan pernah harus
melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat
kamu sekarang, luka
yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,
berita seperti apa
yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata,
dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena
aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu,
ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?" Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika
saya pergi sekolah
SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari
kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu
hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan
menjaga kakakku dan baik
kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang
paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam
kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air
mata bercucuran turun
dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six
times"

Je t'aime mes frères particulièrement vous, mon grand frère.
God Bless u...
met ultah buat my youngest brother... (August 30)

1 comment:

Anonymous said...

i know why u cried for this.
i can feel it, lucky girl... :)